Friday, 24 May 2013
perang mut'ah
PERTEMPURAN paling heroik dan dahsyat yang dialami umat Islam di era awal perkembangan Islam adalah saat mereka yang hanya berkekuatan 3000 orang melawan pasukan terkuat di muka bumi saat itu, Pasukan Romawi dengan kaisarnya Heraclius yang membawa pasukan sebanyak 200.000. Pasukan super besar tersebut merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab sekitar dataran Syam, jajahan Romawi. Perang terjadi di daerah Mu’tah –sehingga sejarawan menyebutnya perang Mu’tah- (sekitar yordania sekarang), pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun 8 H atau tahun 629 M.
Latar Belakang
Penyebab perang Mu’tah ini bermula ketika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengirim utusan bernama al-Harits bin Umair al-‘Azdi yang akan dikirim ke penguasa Bashra. Di tengah perjalanan, utusan itu ditangkap Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani dari bani Gasshaniyah (daerah jajahan romawi) dan dibawa ke hadapan kaisar Romawi Heraclius. Setelah itu kepalanya dipenggal. Pelecehan dan pembunuhan utusan negara termasuk menyalahi aturan politik dunia. Membunuh utusan sama saja ajakan untuk berperang. Hal inilah yang membuat beliau marah.
Mendengar utusan damainya dibunuh, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat sedih. Setelah sebelumnya berunding dengan para Sahabat, lalu diutuslah pasukan muslimin untuk berangkat ke daerah Syam. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sadar melawan penguasa Bushra berarti juga melawan pasukan Romawi yang notabene adalah pasukan terbesar dan terkuat di muka bumi ketika itu. Namun ini harus dilakukan karena bisa saja suatu saat pasukan lawan akan menyerang Madinah. Kelak pertempuran ini adalah awal dari pertempuran Arab – Bizantium.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata “Pasukan ini dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, bila ia gugur komando dipegang oleh Jakfar bin Abu Thalib, bila gugur pula panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah –saat itu beliau meneteskan air mata- selanjutnya bendera itu dipegang oleh seorang ‘pedang Allah’ dan Akhirnya Allah Subhânahu wata‘âlâ memberikan kemenangan. (HR. al-Bukhari)
Peperangan yang Sengit
Kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah. Musuh pun mendengar keberangkatan mereka. Dipersiapkanlah pasukan super besar guna menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Heraclius mengerahkan lebih dari 100.000 tentara Romawi sedangkan Syurahbil bin ‘Amr mengerahkan 100.000 tentara yang terdiri dari kabilah Lakham, Juzdan, Qain dan Bahra‘. Kedua pasukan bergabung.
Mendengar kekuatan musuh yang begitu besar, kaum Muslimin berhenti selama dua malam di daerah bernama Mu’an guna merundingkan apa langkah yang akan diambil. Beberapa orang berpendapat, “Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi, atau memerintahkan sesuatu yang harus kita lakukan.” Tetapi Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Bahkan ia mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api:
“Demi Allah Subhânahu wata‘âlâ, sesungguhnya apa yang kalian tidak sukai ini adalah sesuatu yang kalian keluar mencarinya, yaitu syahid (gugur di medan perang). Kita tidak berperang karena jumlah pasukan atau besarnya kekuatan. Kita berjuang semata-mata untuk agama ini yang Allah Subhânahu wata‘âlâ telah memuliakan kita dengannya. Majulah! Hanya ada salah satu dari dua kebaikan; menang atau gugur (syahid) di medan perang.” Lalu mereka mengatakan, “ Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar.”
Terjadilah perang di daerah Mu’tah (sekitar Yordania sekarang). Perang dimulai. Komandan pasukan, Zaid bin Haritsah bertempur heroik, membabat pedangnya kesana kemari, menghabisi pasukan Romawi. Perlawanannya harus terhenti setelah ia tersungkur dari kudanya karena kudanya berhasil di ditombak. Zaid gugur setelah ditebas pedang lawan.
Lalu komandan perang dipegang Jakfar bin Abu Thalib. Jakfar bertempur dengan gagah berani sambil memegang bendera pasukan. Tiba-tiba tangan kirinya putus tertebas pedang musuh. Lalu bendera dipegang tangan kanannya. Namun tangan kanannya pun ditebas. Dalam kondisi demikian, semangat beliau tidak surut, ia tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai beliau gugur oleh senjata lawan. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar Radhiyallâhu ‘anhu, salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam perang itu, terdapat tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau akibat tusukan pedang dan anak panah.
Selanjutnya komando pasukan diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah. Namun nasibnya pun sama, gugur sebagai syuhada. Tsabit bin Arqam Radhiyallâhu ‘anhu mengambil bendera yang tidak bertuan itu dan berteriak memanggil para Sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang memimpin kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid Radhiyallâhu ‘anhu yang terkenal sebagai seorang yang punya strategi perang yang handal. Ini adalah peperangan pertamanya, karena belum lama dia masuk Islam.
Khalid bin Walid Radhiyallâhu ‘anhu sangat sadar, tidaklah mungkin menandingi pasukan sebesar pasukan Romawi tanpa siasat yang jitu. Ia lalu mengatur strategi, ditebarkan rasa takut ke diri musuh dengan selalu formasi pasukan setiap hari. Pasukan di barisan depan ditukar dibelakang, dan yang dibelakang berada didepan. Pasukan sayap kanan berganti posisi ke kiri begitupun sebaliknya. Tujuannya adalah agar pasukan romawi mengira pasukan muslimin mendapat bantuan tambahan pasukan baru.
Khalid bin Walid memerintahkan beberapa kelompok prajurit kaum muslimin pada pagi harinya agar berjalan dari arah kejauhan menuju medan perang dengan menarik pelepah-pelepah pohon sehingga dari kejauhan terlihat seperti pasukan bantuan yg datang dengan membuat debu-debu berterbangan. Pasukan musuh yg menyaksikan peristiwa tersebut mengira bahwa pasukan muslim benar-benar mendapatkan bala bantuan. Mereka berpikir, bahwa kemarin dengan 3000 orang pasukan saja merasa kewalahan, apalagi jika datang pasukan bantuan. Karena itu, pasukan musuh merasa takut dan akhirnya mengundurkan diri dari medan pertempuran. Pasukan Islam lalu kembali ke Madinah, mereka tidak mengejar pasukan Romawi yang lari, karena dengan mundurnya pasukan Romawi berarti Islam sudah menang.
Menang atau Imbang
Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa pertempuran ini berakhir imbang. Hal karena kedua belah pasukan sama-sama menarik mundur pasukannya yang lebih dahulu dilakukan oleh Romawi. Sedangkan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam pertempuran ini kemenangan berada di tangan Muslim.
Sebenarnya tanpa ada justifikasi kemenanganpun akan diketahui ada dipihak siapa. Keberanian pasukan yang hanya berjumlah 3.000 dengan gagah berani menghadapi dan dapat mengimbangi pasukan yang sangat besar dan bersenjata lebih canggih dan lengkap cukup menjadi bukti. Bahkan jika menghitung jumlah korban dalam perang itu siapapun akan langsung mengatakan bahwa umat islam menang. Mengingat korban dari pihak muslim hanya 12 orang, (Menurut riwayat Ibnu Ishaq 8 orang, sedang dalam kitab as-Sîrah ash-Shahîhah (hal.468) 13 orang) sedangkan pasukan Romawi tercatat sekitar 20.000 orang.
Perang ini adalah perang yang sangat sengit meski jumlah korban hanya sedikit dari pihak muslim. Di dalam peperangan ini Khalid Radhiyallâhu ‘anhu telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia berkata: “Dalam perang Mu‘tah, sembilan bilah pedang patah di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.” Ibnu Hajar mengatakan, Hadis ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin telah banyak membunuh musuh mereka. ** http://www.sidogiri.net
Referensi: Muhammad bin Ishaq, as-Sîrah an-Nabawiyyah li-bni Ishaq Ad-Dimisyqiy, Abu al-Fida’ al-Hafidz Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Nihayah, dan as-Sîrah an-Nabawiyyah li Ibni Katsir.
PERTEMPURAN KONVOY BOJONG KOKOSAN SUKABUMI 1945-1946
PENGANTAR
Masa
revolusi fisik yang berlangsung dalam kurun waktu tahun 1945 hingga
tahun 1949 merupakan sebuah masa dalam perjalanan sejarah Indonesia yang
sarat dengan warna–warni perjuangan untuk mempertahankan dan menegakkan
kemerdekaan.
Kemerdekaan
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidaklah
serta merta segera mengubah situasi dari bangsa yang terjajah menjadi
bangsa merdeka.
Menjelang berakhir perang Dunia ke-II mulai Juli 1945 wilayah Indonesia masuk kedalam Komando South East Asia Command (SEAC) dibawah pimpinan Panglima sekutu LORD L. MOUNTBATTEN yang berkedudukan di Colombo Srilangka.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu Inggris diberi tugas RAPWI
(Recovery of Allied Prisoners of War and Interneers) yaitu pengurusan
dan pemulangan tawanan perang dan interniran Sekutu di Indonesia.
Dalam pelaksanaan tugasnya di Indonesia Sekutu mengalami hambatan dari pejuang-pejuang Indonesia yang militan yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Diantara hambatan yang dialami Sekutu (Inggris) antara lain peristiwa Pertempuran Konvoy Bojong Kokosan. Uraian berikut peristiwa Bojong Kokosan dibagi dalam tiga pokok bahasan Yaitu : Pertempuran ke I, Masa gencatan senjata (Cease Fire) dan Pertempuran ke II.
Pertempuran Ke-I / Penghadangan pertama. (9 Desember 1945 s/d 12 Desember 1945)
Menjelang
bulan Desember 1945, suhu situasi kondisi di Jawa Barat juga semakin
memanas. Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang semula, lebih banyak
dipengaruhi oleh sikap perjuangan diplomasi dari Pemerintah Pusat.
Maka
pada saat itu mulai kehilangan kepercayaannya terhadap netralitas
pimpinan Tentara Sekutu, yang nampaknya semakin condong untuk membantu
pihak Belanda, dalam rangka menegakan kembali kekuasaannya di bumi
Indonesia.
Sejak
Tentara Sekutu menduduki kota Bandung, maka pergerakan lalulintas, baik
personil maupun perlengkapan logistik antara Jakarta-Bandung, mereka
upayakan dengan segala cara. Mula-mula untuk memenuhi kebutuhan akan
perbekalan dan perlengkapan 60.000 anggota APWI di Bandung. Mereka
mencoba mengirimkan barang-barang tersebut dengan mempergunakan kereta
api dari Jakarta ke Bandung sebanyak 20 gerbong, yang dikawal oleh
serdadu-serdadu Ghurka, melalui jalur utara.
Akan
tetapi karena tidak ada koordinasi dengan Pasukan-pasukan TKR yang
bertugas di daerah Dawuan, ialah Batayon Priatna dari Resimen - 5 TKR.
Pengawal-pengawal perjalanan kereta api yang hanya dilakukan oleh 10
orang serdadu Ghurka dalam tempo sekejap sudah bisa dilumpuhkan, 4 orang
tertembak mati, sedangkan 6 orang menyerahkan diri sebagai tawanan.
Isi
ke 20 gerbong tersebut disita, yang terdiri dari makanan kalengan,
seperti nasi goreng, kornet, sardencis, susu, keju, coklat dan
sebagainya.
Juga
terdapat sejumlah besar pakaian dan selimut. Dengan demikian pada saat
itu Resimen-5 TKR memperoleh rezeki nomplok, bahkan rakyat penduduk
setempatpun ikut menikmatinya.
Namun
ternyata insiden ini menjadi berkepanjangan pula. Tentara Sekutu
mengajukan “protes keras” kepada Menteri Amir Sjarifoeddin. Minta agar
perbekalan dan perlengkapan yang disita tersebut dikembalikan.
Selanjutnya juga Menteri Amir Sjrifoeddin memberikan tegoran kepada
Komandan Resimen - 5 TKR, ialah Mayor Moefreni untuk mengembalikan
barang rampasan tersebut. Namun Mayor Moefreni menolak. Hanya para
tawanan serdadu Ghurka yang bisa dikembalikan, itupun harus ditukar
dengan para pejuang yang menjadi tawanan Tentara Sekutu di Jakarta.
Akhirnya
Mayor Kawilarang diperintahkan Panglima Komandemen 1 TKR, Mayjen Didi
Kartasasmita di Purwakarta, untuk melakukan tukar-menukar, 6 orang
tawanan serdadu Ghurka, dengan pembebasan 8 orang para pejuang Republik
Indonesia yang ditawan oleh Tentara Sekutu di Rumah Penjara Cipinang.
Diantaranya ialah Mr. Soepangat dan Chairil Anwar.
Setelah
insiden tersebut maka diperoleh kesepakatan antara Pemerintah RI dengan
pihak Tentara Sekutu. Bahwasanya setiap pengiriman perlengkapan dan
perbekalan bagi Tentara Sekutu di Bandung harus dikawal oleh TKR-RI.
Dengan demikian maka sejak tanggal 11 Desember 1945, pengawalan kereta
api yang membawa perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta
ke Bandung dilaksanakan oleh para Taruna dari Akademi Militer
Tanggerang.
Selama
kurang lebih satu bulan pada waktu itu, telah dilakukan tiga kali
pengiriman perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta ke
Bandung. Perjalanan pertama dikawal oleh 20 orang Taruna Akademi Militer
Tanggerang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot. Perjalanan kedua dipimpin
oleh Mayor Kemal Idris, Sedangkan perjalanan yang ketiga dipimpin oleh
Kapten Islam Salim. Semua pengiriman perbekalan ini berjalan mulus tanpa
hambatan apapun.
Akan
tetapi kebutuhan Tentara Sekutu untuk melakukan operasinya di kota
Bandung rupanya tidak hanya sebatas perbekalan dan perlengkapan saja.
Namun memerlukan juga dukungan peralatan dan persenjataan berat lainnya,
dari Pasukan-pasukan Kavaleri, Artileri, Zeni dan sebagainya, yang
mungkin dapat diangkut dengan kereta api.
Maka
untuk memenuhi kebutuhan tersebut pihak Tentara Sekutu juga
menyelenggarakan konvoy kendaraan-kendaraan di jalan raya secara
periodik, yang dikawal ketat oleh mobil-mobil lapis baja dan tank-tank
tempur. Dengan demikian sejak saat itu, maka setiap 1 atau 2 minggu
sekali, akan terlihat iring-iringan kendaraan-kendaraan Tentara Sekutu
di jalan raya antara Bandung-Jakarta pp.
Rupanya
atas pertimbangan keamanan Tentara Sekutu lebih cenderung memilih jalur
Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pp, untuk perjalanan konvoynya.
Sedangkan lewat jalur Puncak, risikonya akan cukup besar, karena
tanjakannya yang terlalu terjal untuk dilewati tank-tank dan mobil lapis
baja yang sangat berat.
Pada
awal bulan Maret 1946, Kolonel A.H. Nasution Panglima Divisi III pernah
dipanggil Panglima Komandemen Jawa Barat Mayjen Didi Kartasasmita. Pada
pertemuan tersebut diceritakan pula oleh Mayjen Didi Kartasasmita,
bahwa suatu ketika mobil yang ditumpanginya pernah terjepit oleh konvoy
Tentara Sekutu, ditengah perjalanan. Beliau betul-betul merasa tidak
berdaya tatkala itu, namun masih untung juga, bahwa mereka tidak
mengetahui, bahwa yang berada di dalam mobil tersebut adalah Panglima
TKR Komandemen Jawa Barat.
Nampaknya
Mayjen Didi Kartasasmita memahami betul, bahwa pada saat itu situasi
kondisi di seluruh Jawa Barat meningkat semakin genting.
Pertempuran-pertempuran telah berkecamuk diseluruh penjuru tanah air.
Bahkan didalam kota Bandung, yang pernah menyandang gelar “kota diplomasi”,
karena telah berhasil memisahkan antara dua kubu yang berseteru, ialah
kubu Sekutu dengan antek-anteknya, disebelah utara rel kereta api dan
kubu para pejuang disebelah selatan. Namun sungguhpun demikian, setiap
hari pertempuran terus berkecamuk disetiap penjuru kota. Sampai-sampai
muncul kata pemeo : “di Bandung tiada hari tanpa pertempuran”.
Pada
saat itu juga Panglima Komandemen TKR Jawa Barat mengeluarkan perintah,
untuk menyerang konvoy-konvoy di jalan-jalan raya dalam wilayah Divisi
III. Hubungan lalu-lintas personil dan logistik mereka, harus diputuskan
selama mungkin. Namun demikian serangan harus dilakukan di
tempat-tempat yang jauh dari perkampungan rakyat. Yaitu di daerah-daerah
pegunungan dan hutan-hutan.
Sebelum keluar perintah “Serang konvoy” dari Panglima Komandemen TKR pada waktu itu. Sebetulnya Komandan Resimen-3 TKR di Sukabumi, ialah Letkol Eddy Sukardi
juga sudah merasa jengkel dengan simpang-siurnya konvoy-konvoy
kendaraan Tentara Sekutu yang melalui daerah komandonya, dari sejak
Ciawi-Sukabumi-Cianjur.
Oleh karena itu kekuatan Resimen-3 TKR, sebanyak 4 Batalyon sudah digelar disepanjang jalur ini, sebagai berikut :
Batalyon I, dibawah komando Mayor Yahya Bahram Rangkuti,
dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ; 1) Kompi Kapten Tedjasukmara, 2)
Kompi Kapten Kusbini, 3) Kompi Kapten Murad Idrus dan 4) Kompi
Kapten Mochtar Kosasih. Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM,
membentang dari Cigombong sampai Cibadak.
Batalyon II, dibawah komando Mayor Harry Sukardi,
dengan kekuatan 4 Kompi, ialah; 1) Kompi Kapten Madsachri, 2) Kompi
Kapten Husein Alexsyah, 3) Kompi Kapten Juanda dan 4) Kompi Kapten
Dasuki. Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM, dari sejak
Cibadak sampai Sukabumi Barat.
Batalyon IV. Dibawah komando Mayor Abdurrachman,
dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ; 1) Kompi Kapten Djahidi, 2) Kompi
Kapten Sabir, 3) Kompi Kapten Madsari dan 4) Kompi Kapten Kabul
Sirodz. Batalyon ini Menempati lokasi sepanjang 15 KM, membentang dari
Sukabumi Timur sampai Gekbrong.
Batalyon III, dibawah komando Kapten Anwar,
dengan kekuatan 4 Kompi, ialah; 1) Kompi Kapten Saleh Opo, 2) Kompi
Kapten Dasuni Zahid, 3) Kompi Kapten Musa Natakusumah dan 4) Kompi yang
dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon. Batalyon ini menempati jalur
yang paling panjang sekitar 30 KM, ialah dari mulai
Gekbrong-Cianjur-Ciranjang.
Disamping Pasukan TKR ini, terdapat pula Pasukan atau Barisan Pejuang Rakyat, yang terdiri dari :
Barisan Hizbullah dibawah pimpinan Suryana, pasukan kelaskarannya dipimpin oleh M. Abdullah, Nawawi Bakri dan Hamami.
Barisan Sabilillah dibawah pimpinan Sasmita Atmadja dan A. Basarah, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Dadi Abdullah.
Barisan Banteng RI, dipimpin Suradiradja dan Lunadi, pasukan kelaskarannya dipimpin oleh Tubagus Ahmad Kurtubi.
Barisan Pemuda Proletar, dibawah pimpinan Sambik, pasukan kelaskarannya dipimpin oleh Mujana, Karim dan Dadang Sukatma.
Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dipimpin oleh Felix Kalesaran.
Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), dibawah pimpinan S. Waluyo, Ismail dan Bakri.
Pertempuran-pertempuran
antara Tentara Sekutu dengan TKR dan Barisan Pejuang di Bandung,
semakin meningkat. Melalui pertempuran-pertempuran tersebut semakin
banyak pula senjata-senjata dan perlengkapan lainnya dari Tentara Sekutu
yang jatuh ke Tangan para pejuang kita, juga jumlah pelarian-pelarian
pribadi serdadu-serdadu India Muslim ke Pihak Republik Indonesia semakin
meningkat.
Nampaknya Brigadier Mc. Donald
selaku Komandan Brigade ke 37 Tentara Sekutu di Bandung, memerlukan
bantuan dari Jakarta, tidak hanya perbekalan dan Pasukan Infanteri saja
yang bisa diangkut melalui jalur udara, tetapi juga memerlukan, Pasukan
Kendaraan Lapis Baja dan Meriam, serta perbekalan dan alat-peralatan
lainnya yang harus didatangkan melaluli jalur darat.
Kemungkinan
bantuan-bantuan Tentara Sekutu melalui jalur darat ini, rupanya juga
sudah menjadi perkiraan para pejuang di Bandung, oleh karena secara
pribadi, mereka menyarankan agar para pejuang, yang berada disekitar
jalur antara Bandung-Jakarta untuk mengganggu lalu-lintas
kendaraan-kendaraan musuh tersebut.
Seruan pribadi dari para pejuang di Bandung ini segera mendapat
tanggapan dari teman-teman seperjuangannya, terutama yang berada di
wilayah kekuasaan Resimen - 3 TKR, yang membentang melalui jalan raya
Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Sebenarnya sejak Brigade ke-37 Tentara Sekutu memasuki kota Bandung
pada tanggal 12 Oktober 1945, lalu-lintas konvoy Tentara Sekutu yang
membawa perbekalan, melalui jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur itu, sudah
beberapa kali terjadi. Namun karena suasana perjuangan pada saat itu
masih sangat samar tanpa ada ketegasan, antara perjuangan diplomasi dan
perlawanan dengan senjata. Maka sikap para pejuangpun penuh dengan
keragu-raguan.
Adapun gangguan yang dilakukan para pejuang pada waktu itu, hanyalah
sebatas dilakukan dengan memasang rintangan-rintangan pepohonan yang
sederhana, ataupun tembakan-tembakan pribadi sekedar melampiaskan rasa
kesal dan jengkel. Gangguan-gangguan tersebut pada umumnya tidak sampai
menghambat perjalanan konvoy.
Namun pada tanggal 29 Nopember 1945, pernah terjadi peristiwa,
beberapa truk yang memuat serdadu-serdadu Jepang dan Gurkha, mencoba
memasuki jalur jalan antara Bogor-Sukabumi. Dihadang dengan
barikade-barikade, dan diserang oleh Barisan Rakyat di daerah Cicurug
dan Parungkuda. Dilaporkan 4 orang musuh tewas oleh Barisan Rakyat dan
truk-truk kembali ke Bogor. Sedangkan pada hari itu juga sebanyak 124
buah truk Inggris dicegat rintangan-rintangan Barisan Rakyat di
Ciranjang dan Gekbrong, tanpa diketahui kerugian dari kedua pihak.
Subscribe to:
Posts (Atom)