PERTEMPURAN KONVOY BOJONG KOKOSAN SUKABUMI 1945-1946
PENGANTAR
Masa
revolusi fisik yang berlangsung dalam kurun waktu tahun 1945 hingga
tahun 1949 merupakan sebuah masa dalam perjalanan sejarah Indonesia yang
sarat dengan warna–warni perjuangan untuk mempertahankan dan menegakkan
kemerdekaan.
Kemerdekaan
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidaklah
serta merta segera mengubah situasi dari bangsa yang terjajah menjadi
bangsa merdeka.
Menjelang berakhir perang Dunia ke-II mulai Juli 1945 wilayah Indonesia masuk kedalam Komando South East Asia Command (SEAC) dibawah pimpinan Panglima sekutu LORD L. MOUNTBATTEN yang berkedudukan di Colombo Srilangka.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu Inggris diberi tugas RAPWI
(Recovery of Allied Prisoners of War and Interneers) yaitu pengurusan
dan pemulangan tawanan perang dan interniran Sekutu di Indonesia.
Dalam pelaksanaan tugasnya di Indonesia Sekutu mengalami hambatan dari pejuang-pejuang Indonesia yang militan yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945. Diantara hambatan yang dialami Sekutu (Inggris) antara lain peristiwa Pertempuran Konvoy Bojong Kokosan. Uraian berikut peristiwa Bojong Kokosan dibagi dalam tiga pokok bahasan Yaitu : Pertempuran ke I, Masa gencatan senjata (Cease Fire) dan Pertempuran ke II.
Pertempuran Ke-I / Penghadangan pertama. (9 Desember 1945 s/d 12 Desember 1945)
Menjelang
bulan Desember 1945, suhu situasi kondisi di Jawa Barat juga semakin
memanas. Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang semula, lebih banyak
dipengaruhi oleh sikap perjuangan diplomasi dari Pemerintah Pusat.
Maka
pada saat itu mulai kehilangan kepercayaannya terhadap netralitas
pimpinan Tentara Sekutu, yang nampaknya semakin condong untuk membantu
pihak Belanda, dalam rangka menegakan kembali kekuasaannya di bumi
Indonesia.
Sejak
Tentara Sekutu menduduki kota Bandung, maka pergerakan lalulintas, baik
personil maupun perlengkapan logistik antara Jakarta-Bandung, mereka
upayakan dengan segala cara. Mula-mula untuk memenuhi kebutuhan akan
perbekalan dan perlengkapan 60.000 anggota APWI di Bandung. Mereka
mencoba mengirimkan barang-barang tersebut dengan mempergunakan kereta
api dari Jakarta ke Bandung sebanyak 20 gerbong, yang dikawal oleh
serdadu-serdadu Ghurka, melalui jalur utara.
Akan
tetapi karena tidak ada koordinasi dengan Pasukan-pasukan TKR yang
bertugas di daerah Dawuan, ialah Batayon Priatna dari Resimen - 5 TKR.
Pengawal-pengawal perjalanan kereta api yang hanya dilakukan oleh 10
orang serdadu Ghurka dalam tempo sekejap sudah bisa dilumpuhkan, 4 orang
tertembak mati, sedangkan 6 orang menyerahkan diri sebagai tawanan.
Isi
ke 20 gerbong tersebut disita, yang terdiri dari makanan kalengan,
seperti nasi goreng, kornet, sardencis, susu, keju, coklat dan
sebagainya.
Juga
terdapat sejumlah besar pakaian dan selimut. Dengan demikian pada saat
itu Resimen-5 TKR memperoleh rezeki nomplok, bahkan rakyat penduduk
setempatpun ikut menikmatinya.
Namun
ternyata insiden ini menjadi berkepanjangan pula. Tentara Sekutu
mengajukan “protes keras” kepada Menteri Amir Sjarifoeddin. Minta agar
perbekalan dan perlengkapan yang disita tersebut dikembalikan.
Selanjutnya juga Menteri Amir Sjrifoeddin memberikan tegoran kepada
Komandan Resimen - 5 TKR, ialah Mayor Moefreni untuk mengembalikan
barang rampasan tersebut. Namun Mayor Moefreni menolak. Hanya para
tawanan serdadu Ghurka yang bisa dikembalikan, itupun harus ditukar
dengan para pejuang yang menjadi tawanan Tentara Sekutu di Jakarta.
Akhirnya
Mayor Kawilarang diperintahkan Panglima Komandemen 1 TKR, Mayjen Didi
Kartasasmita di Purwakarta, untuk melakukan tukar-menukar, 6 orang
tawanan serdadu Ghurka, dengan pembebasan 8 orang para pejuang Republik
Indonesia yang ditawan oleh Tentara Sekutu di Rumah Penjara Cipinang.
Diantaranya ialah Mr. Soepangat dan Chairil Anwar.
Setelah
insiden tersebut maka diperoleh kesepakatan antara Pemerintah RI dengan
pihak Tentara Sekutu. Bahwasanya setiap pengiriman perlengkapan dan
perbekalan bagi Tentara Sekutu di Bandung harus dikawal oleh TKR-RI.
Dengan demikian maka sejak tanggal 11 Desember 1945, pengawalan kereta
api yang membawa perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta
ke Bandung dilaksanakan oleh para Taruna dari Akademi Militer
Tanggerang.
Selama
kurang lebih satu bulan pada waktu itu, telah dilakukan tiga kali
pengiriman perbekalan dan perlengkapan Tentara Sekutu dari Jakarta ke
Bandung. Perjalanan pertama dikawal oleh 20 orang Taruna Akademi Militer
Tanggerang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot. Perjalanan kedua dipimpin
oleh Mayor Kemal Idris, Sedangkan perjalanan yang ketiga dipimpin oleh
Kapten Islam Salim. Semua pengiriman perbekalan ini berjalan mulus tanpa
hambatan apapun.
Akan
tetapi kebutuhan Tentara Sekutu untuk melakukan operasinya di kota
Bandung rupanya tidak hanya sebatas perbekalan dan perlengkapan saja.
Namun memerlukan juga dukungan peralatan dan persenjataan berat lainnya,
dari Pasukan-pasukan Kavaleri, Artileri, Zeni dan sebagainya, yang
mungkin dapat diangkut dengan kereta api.
Maka
untuk memenuhi kebutuhan tersebut pihak Tentara Sekutu juga
menyelenggarakan konvoy kendaraan-kendaraan di jalan raya secara
periodik, yang dikawal ketat oleh mobil-mobil lapis baja dan tank-tank
tempur. Dengan demikian sejak saat itu, maka setiap 1 atau 2 minggu
sekali, akan terlihat iring-iringan kendaraan-kendaraan Tentara Sekutu
di jalan raya antara Bandung-Jakarta pp.
Rupanya
atas pertimbangan keamanan Tentara Sekutu lebih cenderung memilih jalur
Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pp, untuk perjalanan konvoynya.
Sedangkan lewat jalur Puncak, risikonya akan cukup besar, karena
tanjakannya yang terlalu terjal untuk dilewati tank-tank dan mobil lapis
baja yang sangat berat.
Pada
awal bulan Maret 1946, Kolonel A.H. Nasution Panglima Divisi III pernah
dipanggil Panglima Komandemen Jawa Barat Mayjen Didi Kartasasmita. Pada
pertemuan tersebut diceritakan pula oleh Mayjen Didi Kartasasmita,
bahwa suatu ketika mobil yang ditumpanginya pernah terjepit oleh konvoy
Tentara Sekutu, ditengah perjalanan. Beliau betul-betul merasa tidak
berdaya tatkala itu, namun masih untung juga, bahwa mereka tidak
mengetahui, bahwa yang berada di dalam mobil tersebut adalah Panglima
TKR Komandemen Jawa Barat.
Nampaknya
Mayjen Didi Kartasasmita memahami betul, bahwa pada saat itu situasi
kondisi di seluruh Jawa Barat meningkat semakin genting.
Pertempuran-pertempuran telah berkecamuk diseluruh penjuru tanah air.
Bahkan didalam kota Bandung, yang pernah menyandang gelar “kota diplomasi”,
karena telah berhasil memisahkan antara dua kubu yang berseteru, ialah
kubu Sekutu dengan antek-anteknya, disebelah utara rel kereta api dan
kubu para pejuang disebelah selatan. Namun sungguhpun demikian, setiap
hari pertempuran terus berkecamuk disetiap penjuru kota. Sampai-sampai
muncul kata pemeo : “di Bandung tiada hari tanpa pertempuran”.
Pada
saat itu juga Panglima Komandemen TKR Jawa Barat mengeluarkan perintah,
untuk menyerang konvoy-konvoy di jalan-jalan raya dalam wilayah Divisi
III. Hubungan lalu-lintas personil dan logistik mereka, harus diputuskan
selama mungkin. Namun demikian serangan harus dilakukan di
tempat-tempat yang jauh dari perkampungan rakyat. Yaitu di daerah-daerah
pegunungan dan hutan-hutan.
Sebelum keluar perintah “Serang konvoy” dari Panglima Komandemen TKR pada waktu itu. Sebetulnya Komandan Resimen-3 TKR di Sukabumi, ialah Letkol Eddy Sukardi
juga sudah merasa jengkel dengan simpang-siurnya konvoy-konvoy
kendaraan Tentara Sekutu yang melalui daerah komandonya, dari sejak
Ciawi-Sukabumi-Cianjur.
Oleh karena itu kekuatan Resimen-3 TKR, sebanyak 4 Batalyon sudah digelar disepanjang jalur ini, sebagai berikut :
Batalyon I, dibawah komando Mayor Yahya Bahram Rangkuti,
dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ; 1) Kompi Kapten Tedjasukmara, 2)
Kompi Kapten Kusbini, 3) Kompi Kapten Murad Idrus dan 4) Kompi
Kapten Mochtar Kosasih. Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM,
membentang dari Cigombong sampai Cibadak.
Batalyon II, dibawah komando Mayor Harry Sukardi,
dengan kekuatan 4 Kompi, ialah; 1) Kompi Kapten Madsachri, 2) Kompi
Kapten Husein Alexsyah, 3) Kompi Kapten Juanda dan 4) Kompi Kapten
Dasuki. Batalyon ini menempati lokasi sepanjang 18 KM, dari sejak
Cibadak sampai Sukabumi Barat.
Batalyon IV. Dibawah komando Mayor Abdurrachman,
dengan kekuatan 4 Kompi, ialah ; 1) Kompi Kapten Djahidi, 2) Kompi
Kapten Sabir, 3) Kompi Kapten Madsari dan 4) Kompi Kapten Kabul
Sirodz. Batalyon ini Menempati lokasi sepanjang 15 KM, membentang dari
Sukabumi Timur sampai Gekbrong.
Batalyon III, dibawah komando Kapten Anwar,
dengan kekuatan 4 Kompi, ialah; 1) Kompi Kapten Saleh Opo, 2) Kompi
Kapten Dasuni Zahid, 3) Kompi Kapten Musa Natakusumah dan 4) Kompi yang
dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon. Batalyon ini menempati jalur
yang paling panjang sekitar 30 KM, ialah dari mulai
Gekbrong-Cianjur-Ciranjang.
Disamping Pasukan TKR ini, terdapat pula Pasukan atau Barisan Pejuang Rakyat, yang terdiri dari :
Barisan Hizbullah dibawah pimpinan Suryana, pasukan kelaskarannya dipimpin oleh M. Abdullah, Nawawi Bakri dan Hamami.
Barisan Sabilillah dibawah pimpinan Sasmita Atmadja dan A. Basarah, pasukan Kelasykarannya dipimpin oleh Dadi Abdullah.
Barisan Banteng RI, dipimpin Suradiradja dan Lunadi, pasukan kelaskarannya dipimpin oleh Tubagus Ahmad Kurtubi.
Barisan Pemuda Proletar, dibawah pimpinan Sambik, pasukan kelaskarannya dipimpin oleh Mujana, Karim dan Dadang Sukatma.
Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dipimpin oleh Felix Kalesaran.
Barisan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), dibawah pimpinan S. Waluyo, Ismail dan Bakri.
Pertempuran-pertempuran
antara Tentara Sekutu dengan TKR dan Barisan Pejuang di Bandung,
semakin meningkat. Melalui pertempuran-pertempuran tersebut semakin
banyak pula senjata-senjata dan perlengkapan lainnya dari Tentara Sekutu
yang jatuh ke Tangan para pejuang kita, juga jumlah pelarian-pelarian
pribadi serdadu-serdadu India Muslim ke Pihak Republik Indonesia semakin
meningkat.
Nampaknya Brigadier Mc. Donald
selaku Komandan Brigade ke 37 Tentara Sekutu di Bandung, memerlukan
bantuan dari Jakarta, tidak hanya perbekalan dan Pasukan Infanteri saja
yang bisa diangkut melalui jalur udara, tetapi juga memerlukan, Pasukan
Kendaraan Lapis Baja dan Meriam, serta perbekalan dan alat-peralatan
lainnya yang harus didatangkan melaluli jalur darat.
Kemungkinan
bantuan-bantuan Tentara Sekutu melalui jalur darat ini, rupanya juga
sudah menjadi perkiraan para pejuang di Bandung, oleh karena secara
pribadi, mereka menyarankan agar para pejuang, yang berada disekitar
jalur antara Bandung-Jakarta untuk mengganggu lalu-lintas
kendaraan-kendaraan musuh tersebut.
Seruan pribadi dari para pejuang di Bandung ini segera mendapat
tanggapan dari teman-teman seperjuangannya, terutama yang berada di
wilayah kekuasaan Resimen - 3 TKR, yang membentang melalui jalan raya
Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Sebenarnya sejak Brigade ke-37 Tentara Sekutu memasuki kota Bandung
pada tanggal 12 Oktober 1945, lalu-lintas konvoy Tentara Sekutu yang
membawa perbekalan, melalui jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur itu, sudah
beberapa kali terjadi. Namun karena suasana perjuangan pada saat itu
masih sangat samar tanpa ada ketegasan, antara perjuangan diplomasi dan
perlawanan dengan senjata. Maka sikap para pejuangpun penuh dengan
keragu-raguan.
Adapun gangguan yang dilakukan para pejuang pada waktu itu, hanyalah
sebatas dilakukan dengan memasang rintangan-rintangan pepohonan yang
sederhana, ataupun tembakan-tembakan pribadi sekedar melampiaskan rasa
kesal dan jengkel. Gangguan-gangguan tersebut pada umumnya tidak sampai
menghambat perjalanan konvoy.
Namun pada tanggal 29 Nopember 1945, pernah terjadi peristiwa,
beberapa truk yang memuat serdadu-serdadu Jepang dan Gurkha, mencoba
memasuki jalur jalan antara Bogor-Sukabumi. Dihadang dengan
barikade-barikade, dan diserang oleh Barisan Rakyat di daerah Cicurug
dan Parungkuda. Dilaporkan 4 orang musuh tewas oleh Barisan Rakyat dan
truk-truk kembali ke Bogor. Sedangkan pada hari itu juga sebanyak 124
buah truk Inggris dicegat rintangan-rintangan Barisan Rakyat di
Ciranjang dan Gekbrong, tanpa diketahui kerugian dari kedua pihak.
No comments:
Post a Comment